Sejarah Kabupaten Nganjuk
hay kaka,,
untuk warga asli nganjuk pasti kepo kan sejarah nganjuk eheheheh
belajar lagi yuk,,,
Dari berbagai sumber sejarah diketahui bahwa, disekitar tahun 929 M, di
Nganjuk, tepatnya di Desa Candirejo Kecamatan Loceret, telah terjadi
pertempuran hebat antara prajurit Pu Sendok, yang pada waktu itu
bergelar Mahamantri I Hino (Panglima Perang) melawan bala tentara
Kerajaan Melayu/Sriwijaya.
Sebelumnya pada setiap pertempuran, mulai dari pesisir Jawa sebelah
barat hingga Jawa Tengah kemenangan senantiasa ada dipihak bala tentara
Melayu. Kemudian pada pertempuran berikutnya, di daerah Nganjuk, bala
prajurit Pu Sendok memperoleh kemenangan yang gilang gemilang.
Kemenangan ini tidak lain karena Pu Sendok mendapat dukungan penuh dari
rakyat desa-desa sekitarnya. Berkat keberhasilan dalam pertempuran
tersebut, Pu Sendok dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Sri Maharaja Pu
Sendok Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa.
Kurang lebih delapan tahun kemudian, Sri Maharaja Pu Sendok tergugah
hatinya untuk mendirikan sebuah tugu kemenangan atau Jayastamba dan
sebuah Candi atau Jayamerta. Dan terhadap masyarakat desa sekitar candi,
karena jasa- jasanya didalam membantu pertempuran, oleh Pu Sendok
diberi hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status
sima swatantra :ANJUK LADANG”. Anjuk berarti tinggi, atau dalam arti
simbolis adalah : mendapat kemenangan yang gilang gemilang; Ladang
berarti tanah atau daratan. Sejalan dengan perkembangan zaman kemudian
berkembang menjadi daerah yang lebih luas dan tidak hanya sekedar
sebagai sebuah desa.
Sedangkan perubahan kata “ANJUK” menjadi Nganjuk, karena proses bahasa,
atau merupakan hasil proses perubahan morfhologi bahasa, yang menjadi
ciri khas dan struktural bahasa Jawa. Perubahan kata dalam bahasa Jawa
ini terjadi karena : gejala usia tua dan gejala informalisasi, disamping
adanya kebiasaan menambah konsonan sengau “NG” (nasalering) pada lingga
kata yang diawali dengan suara vokal, yang menunjukkan tempat. Hal
demikian inilah yang merubah kata “ANJUK” menjadi “NGANJUK”.
Angka tahun yang tertera pada prasasti Candi Lor adalah tanggal 12 bulan
Caitra tahun 859 Caka atau bertepatan dengan tanggal 10 April 937 M.
Kalimat yang menunjuk angka tahun tersebut berbunyi : “SWASTI
QAKAWARSATITA 859 CAITRAMASA TITHI DWADASIKRSNAPAKSA”. Yang jika
diterjemahkan, kurang lebih berbunyi : Selamat Tahun Saka telah berjalan
859 Tahun Pertengahan pertama bulan Caitra tanggal 12″.
Berdasarkan kajian dan analisis sejarah inilah, maka tanggal 10 April
937 M disepakati sebagai hari Jadi Nganjuk, selanjutnya dengan Surat
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nganjuk Nomor : 495 Tahun 1993
ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Sejarah Candi Lor & Tradisi Masyarakat Sekitar
Candi Lor merupakan salah satu peninggalan dari dinasti Isyana yang
didirikan oleh Mpu Sendok yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Medang
kamulan. Sebelum Mpu sendok mendirikan kerajaan ini. Mpu sendok
merupakan raja dari kerajaan mataram kuno. Sebelumnya, mataram kuno
pusat kerajaannya berada di jawa tengah, namun karena ada beberapa
faktor yang salah satunya adalah ancaman bencana alam dari gunung
merapi. Maka, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa Timur yang kemudian di
beri nama kerajaan Medang Kamulan. Kata medang merupakan nama lain dari
Mataram sedangkan Kamulan berasal dari kata mula yang artinya yang
awalnya.
Kemudian Mpu sendok pun mendirikan sebuah tugu di Anjuk ladang dan
punden berundak-undak sebagai tanda keberhasilannya yang kemudian
disebut candi lor.Candi ini melambangkan perjuangan Mpu Sendok dalam
melawan musuhnya dari Melayu yang akhirnya dimenangkan oleh Mpu Sendok.
Mpu Sendok juga berjasa kepada masyarakat sekitar yang pada masa itu
terbelit pajak. Mpu Sendok kemudian mampu membebaskan rakyat Anjuk
Ladang dari pemaksaan pembayaran pajak. Mpu Sendok hanya meminta kepada
rakyat Anjuk ladang merawat Jayastamba, yang merupakan tugu kemenangan
Mpu Sendok atas Melayu.
Hari kemenangan tersebut jatuh pada tanggal 10 April, yang kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi kota Nganjuk. Meskipun dijadikan sebagai
salah satu pariwisata kabupaten Nganjuk, masyarakat sekitar masih banyak
yang menggunakan candi ini sebagai sarana upacara adat,ritual, dan lain
sebagainya. Masyarakat sekitar Nganjuk jugamasih menghargai nilai-nilai
budaya serta warisan sejarah tempat tinggal mereka sendiri dengan cara
ikut serta menjaga candi ini agar tetap lestari dan bisa dijadikan objek
wisata yang indah dan diminati banyak orang.
Nganjuk pada masa Belanda
Sejarah pemerintahan kabupaten Pace sangat sulit diungkapkan. Karena
kurangnya data yang dapat menjelaskan keberadaannya. Demikian pula
halnya dengan mata rantai hubungan antara kabupaten Pace dengan
kabupaten Berbek. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan tentang
sejarah pemerintahan kabupaten Nganjuk dimulai dari keberadaan
kabupaten Berbek bahwa Berbek, Godean, Nganjuk dan Kertosono merupakan
daerah yang dikuasai belanda dan kasultanan Yogyakarta, sedangkan daerah
Nganjuk merupakan mancanegara kasunanan Surakarta.
Timbul pertanyaan, apakah keempat daerah tersebut mempunyai status
sebagai daaerah kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati (Raden
Tumenggung) atau berstatus lain? Dari silsilah keturunan raja negeri
bima, silsilah Ngarso Dalem Sampean Dalem ingkang Sinuwun Kanjeng
Sulatan Hamengkubuwono1 atau asal usul Raden Tumenggung Sosrodi-Ningrat
Bupati Nayoko Wedono Lebet Gedong Tengen Rajekwesi dapat diperoleh
kesimpulan bahwa memang benar daerah-daerah tersebut pada waktu itu
merupakan daerah kabupaten.
Adaoun penguasa daerah Berbek dan Godean dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Raja bima mempunyai seoarang putra, yaitu: Haji Datuk Sulaeman, yang kawin dengan putri Kyai Wiroyudo dan berputra 4 (empat) orang yaitu;
-Nyai Sontoyudo
-Nyai Honggoyudo
-Kyai Derpoyudo
-Nyai Damis Rembang
2.Nyai Honggoyudo berputra:
-Raden Ayu Rongso Sepuh
-Raden Ayu Tumenggung Sosronegoro
-Raden Ngabei Kertoprojo
-Mas Ajeng Kertowijoyo
3.Raden Tumenggung Sosronegoro I,Bupati Grobongan, mempunyai putra sebanyak 30(tiga puluh) orang, antara lain:
-Raden Tumenggung Sosrodiningrat I (putra I)
-Reden Tumenggung Sosrokoesoemo I (putra VII)
-Raden Tumenggung Sosrodirjo (putra ke XXIII)
4.Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I adalah Bupati Berbek (sebelum pecah dengan Godean) Berputra sebanyak 19 (sembilan belas) orang, antara lain :
-RMT Sosronegoro II(putra ke-2)
-RT. Sosrokoesoemo II (putra ke-11).
1.Raja bima mempunyai seoarang putra, yaitu: Haji Datuk Sulaeman, yang kawin dengan putri Kyai Wiroyudo dan berputra 4 (empat) orang yaitu;
-Nyai Sontoyudo
-Nyai Honggoyudo
-Kyai Derpoyudo
-Nyai Damis Rembang
2.Nyai Honggoyudo berputra:
-Raden Ayu Rongso Sepuh
-Raden Ayu Tumenggung Sosronegoro
-Raden Ngabei Kertoprojo
-Mas Ajeng Kertowijoyo
3.Raden Tumenggung Sosronegoro I,Bupati Grobongan, mempunyai putra sebanyak 30(tiga puluh) orang, antara lain:
-Raden Tumenggung Sosrodiningrat I (putra I)
-Reden Tumenggung Sosrokoesoemo I (putra VII)
-Raden Tumenggung Sosrodirjo (putra ke XXIII)
4.Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I adalah Bupati Berbek (sebelum pecah dengan Godean) Berputra sebanyak 19 (sembilan belas) orang, antara lain :
-RMT Sosronegoro II(putra ke-2)
-RT. Sosrokoesoemo II (putra ke-11).
Menurut pengamatan ketika RT Sosrokoesoemo I meninggal dunia, telah
digantikan adiknya, yakni RT Sosrodirdjo sebagai Bupati Berbek. Setelah
itu Berbek di pecah menjadi dua daerah, yaitu berbek dan godean. RT.
Sosrodirdjo tetap memimpin daerah Berbek, sedangkan Godean dipimpin oleh
keponakannya yaitu RMT. Sosronegoro II (putra kedua dari RT
Sosrokoesoemo I). selanjutnya, menurut perkiraan, setelah kedua bupati
tersebut surut/pension, kabupaten Berbek yang dipimpin oleh RT.
Sosrokoesoemo II (Putra ke-11 dari RT.Sosrokoesoemo I).
Tentang kabupaten Nganjuk dan Kertosono belum dapat diungkapkan lebih
kauh, karena dalam perkembangan selanjutnya kedua daerah tersebut
bergabung manjadi satu dengan daerah Berbek, yang diperkirakan terjadi
sebelum tahun 1852. Adapun bupati Nganjuk sekitar tahun 1830 adalah
RT.Brotodikoro, sedangkan bupati Kertosono adalah RT. Soemodipoero.
Nganjuk Sekitar Tahun 1830
Perjanjian Sepreh, pada tanggal 3 juli 1830 atau tanggal 12 bulan suro
tahun 1758, telah diadakan suatu pertemuan di Pendopo Sepreh oleh Raad
Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche
leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden untuk mengatur
daerah-daerah mancanegara kesunanan Surakarta atau kesultanan
Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari persetujuan antara Neterlandsch
Gouverment dengan yang mulia saat itu akan ditempatkan dibawah
pengawasan dan kekuasan Nederlandsch Gouverment.
Keesokan harinya, pertemuan tersebut telah menghasilkan “Perjanjian
Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan
bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi kediri dan residensi Madiun,
dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengurus
daerah-daerah kraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de
Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu
Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai
daerah-daerah mancanegara. Apabila dicermati, ternyata salah satu dari
23 Bupati yang telah ikut menandatangani perjanjian tersebut adalah
raden Tumenggung Brotodikoro, regency van Ngandjoek. Mengapa demikian
hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa yang mengikuti pertemuan di Pendopo Sepreh hanyalah bupati-bupati
mancanegara dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta,
sedangkan bupati Berbek dan bupati Kertosono, sebagaimana diuraikan
dimuka, adalah merupakan bupati dari daerah-daerah yang telah dikuasai
dan mulai tunduk dibawah pemerintah belanda jauh sebelumnya.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak adanya
Perjanjian Sepreh 1830, atau tepatnya tanggal 4 juli1830, maka semua
kabupaten di nganjuk (Berbek, Kertosono dan Nganjuk ) tunduk dibawah
kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment.
Nganjuk Setelah Perjajian Sepreh, pada tanggal 31 Agustus 1830, atau
hampir dau bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda
mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas
kabupaten-kabupaten yang telah berada dibawah pengwaasan dan
kekuasaanya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam surat pemerintahan
Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan
tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan
komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah keratin.
Dari hasil konperensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tetang
rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan
bahwa:
Pertama: Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri
dari dua residensi, yaitu Residensi Kediri dan Residensi Madiun
Kedua: Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten:
Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan kalangbret. Dan
selanjutnya dari Distrik-distrik Blitar, Trenggalek, kampak dan yang
lebih timur sampai dengan batas-batas dari Malang; baik batas dari
kabupaten-kabupaten maupun distrik juga akan diatur kemudian.
Ketiga: Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten
:Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan
selanjutnya dari Distrik-dastrik Blitar, trenggalek, Kampak dan yang
lebih ke Timuar sampai dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari
Kabupaten-kabupaten maupun Distrik-distrik juga akan diatur kemudian.
Sebagai realisasinya, pada kurun waktu empat bulan kemudian
ditetapkanlah Resolusi No 10 Tanggal 31 Desember 1830, yang berisikan
tentang pelaksanaan dari Skep. Tanggal 31 Agustus 1830 tersebut di atas.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam isi Resolusi tersebut,
khususnya pada bagian keempat, yang antara lain berbunyi sebagai berikut
:
Keempat: juga sangat disayangkan, dari Skep, tanggal 31 Agustus Y1. La.
No 1 terpaksa disetujui (diperkuat) dua Residensi dalam
kabupaten-kabupaten:
a.Residensi Madiun dalam kabupaten - kabupaten:
Madiun
Poerwo-dadie
Toenggoel
Magetan
Gorang-gareng
Djogorogo
Tjaruban
b.Residensi Kedirie dalam kabupaten - kabupaten:
Kedirie
Nganjoek
Berbek
Kertosono
Madiun
Poerwo-dadie
Toenggoel
Magetan
Gorang-gareng
Djogorogo
Tjaruban
b.Residensi Kedirie dalam kabupaten - kabupaten:
Kedirie
Nganjoek
Berbek
Kertosono
Dari hasil pengamatan kedua dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa
setelah penyerahan pengawasan dan kekuasaan atas daerah-daerah
mancanegara oleh Suhunan dari surakarta dan Sultan dari Yogyakarta
kepada pemarintah Hindia Belanda, maka pemerintah Hindia Belanda telah
menerapkan tiga wilayah pemerintahan yaitu:Kabupaten Ngandjoek,
kabupaten Berbek dan kabupaten Kertosono.
Tentang para penjabat Bupati dari ketiga kabupaten tersebut , ditetapkan
dengan akte Komisaris Daerah-daerah yang telah diambil alih, yang
ditandatangani di Semarang 16 juni 1831, oleh van Lawick van Pabst,
dengan tiga personalia Bupati sebagai berikut :
Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo sebagai Bupati Berbek
Raden Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Nganjuk dan
Raden Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati Kertosono
Raden Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Nganjuk dan
Raden Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati Kertosono
Penetapan pejabat-pejabat Bupati tersebut bersamaan dengan penetapan
pejabat Bupati yang lain dalam Residensi kedirie: Bupati Kedirie Raden
Mas Toemenggoeng Ario Djojoningrat; Bupati Ngrowo – Radeen DIpati
Djajengningrat; Bupati Kalangbret – Radeen Toemenggoeng Mangoondikoro;
dan Bupati Srengat Radeen Ngabey Mertokoesoemo.
Air terjun Sedudo
Dibalik Mitos Air Terjun Sedudo Nganjuk
Kaya rempah-rempah, Bisa jadi Obat Awet Muda
Kaya rempah-rempah, Bisa jadi Obat Awet Muda
Banyak yang menyakini jika air terjun Sedudo mampu membuat awet muda siapa saja yang mandi disana. Ada apa dibalik mitos itu?
Jika kita mendengar wisata air terjun Sedudo yang terletak di Desa
Ngliman Kec Sawahan, akan selalu muncul dibenak kita jika air terjun ini
mempunyai banyak khasiat, salah satunya adalah menjadi obat awet muda.
Hal ini banyak diyakini masyarakat sekitar, juga masyarakat diluar
Nganjuk. Terbukti jika wisata air terjun ini tak pernah sepi dari
pengunjung. Baik yang hanya sekedar ingin menikmati pemandangannnya yang
indah, atau memang sengaja ingin membuktikan mitos yang banyak
berkembang itu.Namun tak banyak yang tahu apa yang menyebabkan air
terjun yang berada di Kab Nganjuk bagian selatan itu mempunyai mitos
seperti ini.
Kalangan sejarah menilai,mitos ini berdasar atas sejarah terbentuknya
air terjun itu dan kajian ilmiah. Ada sejarah dan perkiraan secara
ilmiah tentang mitos itu. Dari tinjauan sejarah, saat itu air terjun
Sedudo dibuat oleh salah satu tokoh warga sekitar bernama Sanak Pogalan.
Ia merupakan petani tebu yang harus menelan kecewa dari peenguasa jaman
itu. Karena kekecewaannya inilah, ia kemudian menjadi yang mukim pertama
disekitar sumber air terjun Sedudo. Dalam tapanya, ia berniat untuk
menenggelamkan Kota Nganjuk dengan membuat sumber air yang sangat besar.
’’Dia bersumpah untuk menenggelamkan desanya itu. Dan dibuatlah sumber
air yang sangat besar,’’ Karena kesucian Sanak Pogalan inilah, sebagian
warga meyakini jika sumber air terjun Sedudo, mengandung beberapa
khasiat, salah satunya menjadi obat awet muda.
Selain tentang sejarah, ia juga menduga jika secara ilmiah khasiat obat
awet muda dari air terjun Sedudo ini bisa diraba. Pada jaman kerajan
dulu, ada tokoh bernama Kyai Curigonoto yang sengaja mengasingkan diri
di atas lokasi air terjun.
Dalam pengasingannya itu, Kyai Curigonoto berniat untuk menjadikan hutan
itu sebagai kebun rempah-rempah. Karena menganggap jika tanah hutan,
bisa menjadi mediayang sangat bagus untuk mengembangkan rempah-rempah
yang saat itu menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kyai Curigonoto lantas
meminta Raja Kerajaan Kediri untuk mengirim rempah-rempah ke tempat
pengasingannya itu. Namun, tak begitu jauh dari tujuannya, tiba-tiba
gerobak-gerobak yang mengangkut rempah-renpah itu terguling diantara
sumber air terjun Sedudo. ’’Lalu rempah-rempah ini tumbuh subur hingga
memenuhi hutan yang menjadi tempat sumber air terjun Sedudo,’’.Sehingga,
air yang mengalir keair terjun Sedudo banyak mengandung rempah-rempah
itu.’’Secara otomatis, rempah-rempah ini mampu menjadi obat yang multi
khasiat, salah satunya adalah memmbuat wajah tampak bersih. Sehingga
kelihatan awet muda,’’
Mitos ini juga dijunjung tinggi oleh Pemkab Nganjuk sendiri. Buktinya,
setiap bulan Syuro, Pemkab Nganjuk menggelar ritual ‘Siraman’. Dimana
akan banyak masyarakat Nganjuk yang mandi bersama di lokasi wisata air
terjun ini. ’’Memang budaya siraman ini menjadi agenda tahunan Pemkab
Nganjuk. Selain untuk menarik wisatawan, juga untuk melestarikan budaya
yang sudah ada ratusan tahun silam itu,
Air terjun Singokromo
Air Terjun Singokromo memang masih perawan dan alami sehingga harus
berjalan kaki melewati jalan setapak di dalam hutan untuk mencapainya.
Sejumlah warga memilih untuk merayakan libur panjang ini di Air Terjun
Singokromo.
Puncak Gunung Wilis di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menyimpan sejuta
pesona alam yang luar biasa. Selain memiliki Air Terjun Sedudo, di balik
gunung tersebut ada air terjun lain yang tidak kalah indah. Namanya Air
Terjun Singokromo yang masih perawan dan sangat alami.
Air Terjun Singokromo merupakan satu dari 10 deretan air terjun yang ada
di puncak Gunung Wilis. Letaknya lebih tepat di Desa Ngliman, Kecamatan
Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Kondisi air terjun ini masih sangat alami dan belum tersentuh pembangunan pemerintah sedikitpun. Tak heran, jalan menuju objek wisata satu ini hanya berupa jalan setapak dengan menuruni lembah di dalam hutan.
Kondisi air terjun ini masih sangat alami dan belum tersentuh pembangunan pemerintah sedikitpun. Tak heran, jalan menuju objek wisata satu ini hanya berupa jalan setapak dengan menuruni lembah di dalam hutan.
Namun, Anda tak perlu khawatir. Rasa lelah setelah berjalan kaki sejauh 1
kilometer akan terobati setelah sampai di bawah air terjun. Ya, selain
indah, air terjun setinggi lebih dari 50 meter ini memang benar-benar
masih perawan dan sangat alami. Sejumlah pengunjung memilih mengisi hari
libur Tahun Baru mereka di Air Terjun Singokromo karena belum terlalu
banyak tangan manusia yang menjamah dan mengotorinya.
“Tempatnya masih bersih, sejuk, alami. Udaranya masih enak,” kata Arifin, salah seorang pengunjung.
Sesuai namanya, singo berarti “singa atau harimau” dan kromo berarti
“kawin”, dahulunya air terjun ini merupakan tempat yang dikenal angker.
Jarang ada manusia yang berani datang karena merupakan tempat berkumpul
dan kawinnya harimau di lereng Gunung Wilis.
Berbagai mitos dan kepercayaan mistis terhadap air terjun ini juga masih
sangat lekat hingga sekarang. Terbukti, setiap malam bulan purnama
banyak warga yang masih mendatangi air terjun ini untuk mengambil airnya
karena diyakini ampuh untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Sementara, bagi yang belum memiliki jodoh, dengan mandi Air Terjun
Singokromo juga dipercaya akan segera bertemu dengan jodohnya.
“Masih banyak yang ritual di sini, terutama setiap malam bulan purnama,” tutur Tulus, juru kunci Air Terjun Singokromo.
Anda boleh percaya atau tidak, tapi itu merupakan keyakinan yang sampai
kini masih melekat bagi sebagian masyarakat. Namun, terlepas dari hal
tersebut, Air Terjun Singokromo merupakan satu dari sepuluh deretan air
terjun yang ada di puncak Gunung Wilis. Dua di antaranya sudah bisa
dijangkau wisatawan, seperti Air Terjun Sedudo dan Air Terjun
Singokromo.
Sementara delapan air terjun lainnya hanya bisa dijangkau oleh warga Desa Ngliman dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Itupun lokasinya berada di puncak gunung dengan area sekeliling masih sangat curam, seperti Air Terjun Segunting, Air Terjun Banyuselawe, Air Terjun Banyuiber, Air Terjun Cagak, Air Terjun Selanjur, Air Terjun Jeruk, Air Terjun Banyupait, dan Air Terjun Cemoro Kandang.
Sementara delapan air terjun lainnya hanya bisa dijangkau oleh warga Desa Ngliman dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Itupun lokasinya berada di puncak gunung dengan area sekeliling masih sangat curam, seperti Air Terjun Segunting, Air Terjun Banyuselawe, Air Terjun Banyuiber, Air Terjun Cagak, Air Terjun Selanjur, Air Terjun Jeruk, Air Terjun Banyupait, dan Air Terjun Cemoro Kandang.
Berikut adalah legenda asal usul Air Terjun Sedudo
Pada zaman kerajaan Kediri, sang raja memiliki seorang putri yang
mempunyai penyakit aneh seperti cacar namun sangat menjijikan bagi yang
melihatnya, akhirnya oleh sang raja yang tidak lain ayahnya sendiri
putri tersebut di suruh untuk berobat ke sebuah padepokan yang berada di
daerah Pace. Pemilik padepokan sekaligus teman dari raja ini disuruh
menyembuhkan dan menyembuyikan identitas sang putri dari rakyat sekitar.
Akhirnya setiap pagi putri di mandikan di air terjun Roro Kuning untuk
menyembuhkan penyakit sekaligus pada pagi hari air terjun roro kuning
belum dipakai oleh rakyat sekitar.
Kian hari penyakit putri berangsur – angsur sembuh, paras cantiknya kian
terlihat kembali, anak dari pemilik padepokan tersebut mulai mengetahui
siapa si putri ini. Bahwa si putri tersebut adalah anak dari raja
Kediri yang sedang berobat di padepokan milik ayahnya. Akhirnya kedua
anak dari pemilik padepokan tersebut mengejar hati dari putri kerajaan
Kediri.
Pada akhirnya ketiga insan tersebut merajut cinta, namun cerita barulah
bermulai ketika si putri tersebut sembuh dari penyakitnya. Akhirnya sang
raja dari kerajaan Kediri menjodohkan putri tersebut dengan calon
pilihan sang ayah yang tidak lain adalah raja dari kerajaan Kediri, lalu
kedua anak dari pemilik padepokan tesebut patah hati berat. Akhirnya
sampai berbulan - bulan kedua anak tersebut mengurung diri di sebuah
kamar, hingga suatu ketika mereka keluar dari kamar dengan sikap yang
berubah total. Dulu yang begitu ramah dengan orang sekitar kini kedua
anak tersebut tidak memiliki sopan santun sama sekali terhadap orang
lain semenjak peristiwa tesebut.
Karena sikap yang dimiliki oleh kedua anaknya, akhirnya membuat pemilik
padepokan tersebut yang tidak lain adalah ayahnya sendiri mengutus kedua
anak tersebut bersemedi untuk melupakan jalinan kasih dengan putri
kerajaan Kediri, namun sebelum melakukan semedi kakak beradik ini
mengucapkan sebuah ikrar sang adik tidak akan pernah sopan santun lagi
kepada orang lain sedangkan sang kakak akan selalu hidup melajang.
Sang kakak bertapa di sebuah air terjun tertinggi maka dari itu air
terjun yang berada paling tinggi di namakan air terjun Sedudoyang
artinya “Sing mendudo” atau dalam bahasa Indonesia artinya “yang
melajang”, sedangkan adiknya bertapa di air terjun SingoKromo yang
artinya “Sing Ora Kromo” atau dalam bahasa Indonesia artinya “yang tidak
memiliki sopan santun”. Letak dari air terjun SingoKromo berada di
bawah airSedudo. Nama dari kedua air terjun tersebut di ambil dari janji
mereka sewaktu akan melakukan semedi dulu.
terimakasih
http://masrokhimrwn.blogspot.co.id/